World Bank Klaim Pajak Indonesia Kurang Efektif, Ternyata Ini Alasannya

Aris Ha

Pajak Indonesia kembali menjadi sorotan setelah laporan World Bank mengungkapkan ketidakefektifan dalam sistem pengelolaan dan pengumpulannya.

Sebua data menunjukkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga triliunan rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini dinilai memperlambat optimalisasi pendapatan negara yang sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan.

Bank Dunia menekankan bahwa keberadaan sektor ekonomi informal masih signifikan di Indonesia. Fenomena ini berkontribusi pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kewajiban perpajakan dan mengakibatkan proses pengumpulan pajak yang kurang efisien.

Hal ini diungkapkan dalam laporan Kebijakan Ekonomi yang berjudul “Mengestimasi Kesenjangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pendapatan Korporat di Indonesia”.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Bank Dunia mengungkapkan sektor informal yang tidak terdaftar secara resmi menciptakan kesenjangan dalam kepatuhan pajak.

Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan besar. Laporan tersebut menyoroti bahwa ekonomi gelap yang signifikan di Indonesia menyebabkan ketidakmerataan dalam kepatuhan perpajakan.

Pada 2021, rasio pajak Indonesia mencapai 9,1 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan negara ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di Asia Tenggara.

Menurut World Bank, tantangan ini memerlukan reformasi signifikan untuk memperbaiki efisiensi dan memperluas basis pajak.

World Bank Ungkap Faktor Penyebabnya

Dengan angka 9,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia tidak mampu mengejar rata-rata negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang berpenghasilan menengah.

Selanjutnya, World Bank mengidentifikasi rendahnya rasio pajak sebagai salah satu akar permasalahan.

Fenomena ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak di kalangan masyarakat. Selain itu, basis pajak yang sempit memperburuk keadaan.

Banyak sektor ekonomi yang belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem pajak. Sehingga potensi penerimaan negara tidak maksimal. Ambang batas pajak yang tinggi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga menjadi tantangan tersendiri.

Efisiensi pengumpulan pajak yang masih rendah menjadi sorotan berikutnya. Meskipun teknologi terus berkembang, sistem pajak Indonesia dinilai tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Kompleksitas sistem pajak juga menjadi hambatan bagi wajib pajak dalam memahami dan memenuhi kewajiban mereka.

World Bank mencatat bahwa tingkat pengumpulan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk badan usaha yang lebih rendah dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki tarif pajak sebanding, menunjukkan adanya ketidakefisienan pada sistem perpajakan di Indonesia.

Sementara itu, Hashim Djojohadikusumo, adik dari Presiden Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu telah ditugaskan oleh presiden guna memperbaiki penerimaan negara.

Hashim menyebutkan bahwa Prabowo percaya rasionya pendapatan negara di Indonesia bisa setinggi yang ada di Kamboja yaitu 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB) apabila penerimaan dapat ditingkatkan dengan sukses.

“Bapak Prabowo begitu bersemangat dan telah menetapkan tugas spesifik bagi Pak Anggito. Nantinya kita akan perlahan-lahan mencapai angka serupa dengan yang ada di Kamboja sekitar 18%,” ujar Hasyim seperti yang diberitakan.

Hashim menyoroti bahwa salah satu cara meningkatkan Pendapatan Negara adalah dengan memaksimalkan kinerja penerimaannya dari shadow economy atau ekonomi bayangan.

Menurut dia, ada bagian dari ekonomi yang tak direkam atau disebut juga dengan sektor informal. shadow economy Yang berada di kisaran 25% sampai 30% dari perekonomian keseluruhan yang terlapor.

Saat ini, menurut Hashim, perekonomian Indonesia mencapai sekitar Rp 22.000 triliun, yang menjadikan negara tersebut memiliki ekonomi terbesar urutan ke-16 secara global.

Akan tetapi, apabila mencakup sektor ekonomi yang belum direkam, jumlahnya bisa naik menjadi antara Rp 27.000 triliun sampai dengan Rp 28.000 triliun.

Alasan primer dari perekonomian yang tak tertulis tersebut adalah sebab masih banyak warga yang belum membuka tabungan di bank, membuat aktivitas keuangan mereka enggak terekspos dalam jaringan perbankan resmi.

“25% ini tidak direkam, sebab beberapa orang berperilaku buruk dan banyak pula yang tak memiliki akun perbankan,” ujarnya.

Menurut informasi lebih lanjut, apabila penerimaan dari shadow economy atau underground economy Ini dapat dioptimalkan, Hashim yakin rasio Pendapatan Negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bisa mencapai 18%.

Maka dari itu, akan terdapat tambahan dana kurang lebih senilai Rp 900 triliun per tahun yang mana hal ini akan mencegah defisit pada anggaran negara. (Zonalima.com)