Diet Karnivora tampak semakin populer di kalangan penggiat kesehatan yang ingin mengoptimalkan metabolisme tubuh.
Pola makan ini menekankan konsumsi daging, ikan, telur, dan produk hewani lainnya, dengan mengeliminasi sepenuhnya makanan berbasis nabati.
Pendukung diet karnivora ini mengklaim bahwa pendekatan tersebut dapat meningkatkan energi, menstabilkan gula darah, dan bahkan membantu menurunkan berat badan dengan lebih efektif.
Namun, terdapat sejumlah pakar berpendapat bahwa pola makan daging ini dapat dikatakan tidak seimbang. Hal ini kemudian membuatnya dipertanyakan kesehatan dari polanya.
Terutama tanpa ada cukup bukti saintifik yang mendukung hal tersebut, serta tak direkomendasikan bagi penerapannya dalam waktu lama.
Selain itu, dibalik klaim manfaatnya, banyak pakar gizi yang memperingatkan potensi risiko diet ini, seperti kekurangan serat, meningkatnya kadar kolesterol, dan efek jangka panjang terhadap kesehatan usus.
Sebagai pola makan yang sangat ekstrem, Diet Karnivora bukanlah keputusan yang bisa diambil tanpa pertimbangan matang. Lantas, apa sebenarnya dasar dari diet ini dan bagaimana cara kerjanya? Mari kita bahas lebih lanjut.
Apa Itu Diet Karnivora?
Diet Karnivora adalah pola makan daging yang hanya mengonsumsi makanan berbasis hewani tanpa memasukkan buah, sayuran, biji-bijian, atau kacang-kacangan.
Dengan menghilangkan karbohidrat hampir sepenuhnya, tubuh dipaksa untuk menggunakan lemak sebagai sumber energi utama melalui proses yang dikenal sebagai ketosis.
Dikutip dari berbagai sumber, diet ini diyakini dapat membantu mengurangi inflamasi dan meningkatkan kesehatan metabolik.
Bagaimana Asal-usul Diet Ini?
Pola makan berbasis daging bukanlah hal baru. Dalam sejarahnya, diet ini banyak ditemukan pada masyarakat tradisional seperti suku Inuit dan beberapa kelompok nomaden yang bertahan hidup dengan konsumsi daging dan lemak.
Melansir dari penelitian abad ke-18, Dr. John Rollo menggunakan diet berbasis daging untuk membantu pasien diabetes tipe 2.
Popularitas modern diet ini meningkat setelah Shawn Baker, seorang dokter ortopedi, menerbitkan bukunya The Carnivore Diet pada tahun 2018.
Gaya hidup makan hanya daging ini berasal dari ketertarikan ilmiah yang telah ada selama beberapa abad. Penyelidik mulai mengeksplorasi pola asupan protein hewani secara eksklusif di kalangan komunitas Arktik serta kelompok suku penyayat kayu sejak akhir tahun 1600-an.
Tahun 1797, Dr. John Rollo menangani seorang penderita diabetes tipe 2 menggunakan metode diet berbasis daging dan lemak. Ide tersebut muncul setelah melihat gaya hidup konsumsi makanan rendah karbohidrat warga lokal di St. Lucia.
Menurutnya, teknik medis ini ternyata efektif dalam mengendalikan kondisi penyakit tersebut dan masih digunakan secara luas sampai penemuan insulin pada 1921.
Edisi terbaru dari pola makan daging ini dikembangkan lebih lanjut oleh Shawn Baker, MD, dalam buku beliau pada tahun 2018 dengan judul “The Carnivore Diet”.
Dalam buku tersebut, dia menjelaskan tentang keuntungan kesehatan yang dialaminya setelah membuang semua jenis panganan tumbuhan. Gaya hidup ini fokus kepada konsumsi daging, telur, hasil laut, serta produk-produk olahan susu.
Pendukung diet karnivora menerapkan pola makan daging yang berfokus pada asupan penuh lemak (full-fat). Sebagian menjalani diet ini dengan ketat, sepenuhnya menghindari makanan berbahan nabati. Sementara itu, sebagian lainnya masih mengonsumsi sedikit sayuran yang memiliki kadar karbohidrat rendah.
Namun, sebagian besar orang yang menjalani diet ini mendapatkan mayoritas asupan kalorinya dari daging serta produk berbahan dasar hewani lainnya.
Cara Kerja Diet Karnivora

Diet Karnivora menghilangkan semua makanan nabati dan hanya fokus pada konsumsi protein serta lemak hewani. Dilansir dari berbagai laporan, diet ini mendorong tubuh untuk beralih dari penggunaan glukosa sebagai energi utama menjadi penggunaan lemak melalui ketosis.
Pendukung diet ini mengklaim bahwa perubahan metabolisme tersebut membantu meningkatkan fokus, energi, dan mengontrol gula darah lebih baik.
Namun, di sisi lain, kurangnya serat dan mikroba sehat dari tumbuhan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan pencernaan.
Padahal, karbohidrat adalah sumber utama tenaga untuk tubuh manusia. Ketika kita makan karbohidrat, tubuh merubahnya jadi glukosa atau gula yang digunakan sebagai energi.
Jumlah glukosa ekstra ini disimpan dalam otot serta liver, sedangkan kelebihannya dikonversi menjadi lemak. Apabila tidak memasukkan karbohidrat ke dalam pola makan, tubuh akan beralih menggunakan lemak sebagai sumber utama energi. Proses tersebut menghasilkan senyawa yang disebut Keton.
Pendukung dari diet karnivora meyakini bahwa diet tanpa karbohidrat bisa mendukung pembakaran lemak secara lebih efisien, penurunan berat badan, serta mengendalikan rasa lapar.
Selain itu, mereka juga percaya bahwa metode ini dapat memberikan manfaat bagi penderita diabetes tipe 2. Mereka percaya bahwa dengan menghindari karbohidrat, kadar glukosa darah dapat tetap stabil tanpa lonjakan drastis yang berisiko bagi kesehatan.
Selain itu, diet ini juga dianggap mampu mengurangi risiko inflamasi dalam tubuh. Dengan mengeliminasi makanan olahan seperti french fries, donat, dan mie, tubuh tidak lagi terpapar zat aditif dan gula berlebih yang sering dikaitkan dengan peradangan kronis.
Namun, beberapa orang masih mempertanyakan dampak dari konsumsi daging merah dalam jumlah besar. Mereka khawatir pola makan daging yang sepenuhnya berbasis hewani dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan tertentu dalam jangka panjang.
Meskipun demikian, tiap orang memiliki respon yang unik terhadap pola makan. Pendapat tersebut tak sepenuhnya dibenarkan oleh para profesional di bidang kesehatan.
Mengeliminasi beberapa jenis makanan bisa menimbulkan defisiensi gizi. Sebaiknya Anda selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum mulai menjalani diet baru, lebih-lebih bila sedang dalam situasi medis tertentu.
Pro dan Kontra Diet Karnivora
Diet karnivora telah menarik perhatian lantaran kemampuannya berperan sebagai diet anti-inflamasi yang bisa memberikan manfaat untuk individu dengan masalah imunitas sendiri.
Hal tersebut makin kuat dengan adanya narasi media mengenai seorang pakar gaya hidup bernama Jordan Peterson beserta anaknya, yakni Mikhaila Peterson.
Kedua belah pihak dengan jujur mengaku bahwa pola makan yang hanya terdiri atas daging sapi, garam, serta air sukses membantu mereka melepaskan diri dari beberapa gangguan termasuk artritis reumatis, depresi, cemas, sindrom hati sakau, dan psoriasis.
Akan tetapi, tidak ada bukti saintifik yang menopang pernyataan itu, serta diet antiinflamasi secara turun temurun kebiasaannya berasaskan tumbuhan.
Para pakar menilai diet karnivora sebagai bentuk ekstrem dari diet eliminasi. Pola makan daging ini hanya mencakup sejumlah kecil jenis makanan, sehingga secara efektif menyingkirkan berbagai bahan pangan yang berpotensi memicu alergi atau intoleransi makanan.
Pendukung diet ini tidak mengonsumsi biji-bijian, produk gandum, serta makanan berbasis kedelai seperti tahu dan tempe. Mereka meyakini bahwa eliminasi makanan tersebut dapat memberikan manfaat bagi kesehatan dengan mengurangi reaksi negatif tubuh terhadap beberapa jenis bahan pangan.
Selain itu, banyak orang memilih diet karnivora karena percaya bahwa pola makan daging ini dapat membantu menurunkan berat badan. Namun, hingga saat ini, masih sedikit bukti ilmiah yang benar-benar mendukung klaim tersebut.
Diet Karnivora memiliki batasan yang sangat ketat karena menghilangkan hampir semua kelompok makanan kecuali produk hewani. Pembatasan ini menyebabkan sejumlah risiko yang perlu dipertimbangkan sebelum menjalani pola makan tersebut.
Salah satu kelemahan utama diet ini adalah potensi kekurangan nutrisi penting. Dengan tidak mengonsumsi buah, sayuran, dan biji-bijian, tubuh kehilangan sumber serat, vitamin, serta antioksidan yang berperan dalam menjaga kesehatan sistem pencernaan dan kekebalan tubuh.
Selain itu, pola makan daging yang hanya berfokus lemak hewani dapat meningkatkan kadar kolesterol serta berisiko bagi kesehatan jantung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi berlebihan daging merah dan lemak jenuh dapat berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Ketidakseimbangan mikrobiota usus juga menjadi perhatian utama. Tanpa asupan serat dari tumbuhan, bakteri baik dalam usus sulit berkembang dengan optimal, yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan seperti sembelit dan peradangan usus.
Diet ini juga berpotensi menurunkan variasi makanan, yang dapat berdampak pada psikologis serta kebosanan dalam pola makan sehari-hari. Kurangnya variasi dalam menu dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam jangka panjang, sehingga sulit untuk mempertahankan diet ini secara konsisten.
Mengingat berbagai risiko tersebut, penting bagi siapa pun yang tertarik mencoba diet Karnivora untuk berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter.
Menyesuaikan pola makan agar tetap seimbang dan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh adalah langkah bijak dalam menjaga kesehatan. (Zonalima.com)