Kenali Apa Itu QRIS di Era Digital, Kebijakan Strategis atau Hambatan Perdagangan?

Aris Ha

QRIS, sistem pembayaran digital kebanggaan Indonesia, mendadak jadi sorotan dunia. Laporan dari Amerika Serikat menudingnya sebagai penghambat perdagangan, memicu perdebatan sengit di ranah global.

Padahal, QRIS di Indonesia justru dipuji sebagai pahlawan ekonomi lokal. Jutaan pedagang kecil mengandalkannya untuk transaksi cepat dan murah, memperkuat roda ekonomi rakyat. Namun, di balik keberhasilan itu, ada tudingan bahwa sistem ini menutup pintu bagi perusahaan asing.

Pertanyaannya, apakah QRIS benar-benar menghambat perdagangan, atau justru menjadi simbol kedaulatan digital Indonesia?

Mari kita bedah faktanya dengan saksama, tanpa terjebak narasi sepihak. Namun, ada baiknya kita memahami dulu pengertian apa itu QRIS dan sejarahnya.

Apa Itu QRIS dan Bagaimana Sejarahnya?

QRIS adalah kepanjangan dari Quick Response Code Indonesian Standard, yang merupakan sebuah kode QR dan dipergunakan sebagai sistem pembayaran digital di Indonesia. QRIS dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) yang bekerja sama dengan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).

Tujuannya untuk menyederhanakan proses transaksi digital pada semua aplikasi pembayaran dengan menggunakan satu kode QR yang sama. QRIS diklaim dapat memudahkan seseorang dalam melakukan transaksi pembayaran digital.

QRIS pertama kali diperkenalkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 17 Agustus 2019, bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, sistem pembayaran digital yang berbasis kode QR masih sangat terfragmentasi, dengan setiap penyedia layanan memiliki standar yang berbeda-beda.

Jadi begini, sebelum QRIS hadir, kita menyaksikan sebuah paradoks dalam ranah inovasi pembayaran. Teknologi Quick Response atau QR Code, yang seharusnya memangkas kerumitan, malah terlihat membingungkan.

Masing-masing Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) membangun menara kode mereka sendiri, dengan standar dan spesifikasi yang eksklusif. Sebuah kedaulatan teknologi di ruang transaksi, yang sayangnya, berujung pada fragmentasi.

Coba kita bayangkan, seorang UMKM kecil di sudut kota. Ia bersemangat menyambut era digital dengan harapan kemudahan. Namun, alih-alih satu pintu gerbang pembayaran, ia justru harus memasang berbagai macam pajangan kode di etalasenya.

Setiap aplikasi pembayaran yang berbeda menuntut representasi visualnya sendiri. Sebuah ironi, di mana niat untuk efisiensi justru berujung pada inefisiensi ruang dan visual yang kurang sedap dipandang.

Lebih jauh dari sekadar persoalan estetika dan ruang, muncul isu yang lebih mendasar: keterbatasan interaksi. Konsumen, dengan setia menggenggam aplikasi pembayaran pilihannya, mendapati diri mereka terkurung dalam ekosistem tertentu. Hanya di toko yang memajang kode dari penyedia yang sama, transaksi dapat terlaksana.

Sebuah pembatasan kebebasan memilih, baik bagi pembeli maupun penjual. Pasar menjadi terkotak-kotak oleh sekat-sekat teknologi yang seharusnya justru menjembatani.

Pada akhirnya, deretan QR Code yang bertebaran itu tak ubahnya sebuah lanskap visual yang membingungkan. Pedagang harus mengingat kode mana untuk transaksi dengan aplikasi yang mana. Konsumen pun bertanya-tanya, kode mana yang kompatibel dengan gawai di genggaman mereka.

Sebuah potensi kebingungan yang mereduksi esensi teknologi: kemudahan dan kejelasan. Sebelum QRIS hadir sebagai penuntun arah, kita seolah berjalan dalam kegelapan inovasi yang belum sepenuhnya matang.

Maka, dalam pusaran inovasi yang belum sepenuhnya tertata itu, muncul kesadaran dari pihak yang memiliki tanggung jawab menjaga denyut nadi perekonomian bangsa. Bank Indonesia, sebagai nahkoda sistem pembayaran di negeri ini, melihat betapa pentingnya sebuah harmoni, sebuah standar yang dapat menyatukan berbagai instrumen pembayaran digital yang kala itu berjalan sendiri-sendiri.

Tentu, niatnya mulia: menciptakan sebuah ekosistem pembayaran yang lebih berdaya guna (efisien), merangkul semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali (inklusif), dan memungkinkan terjadinya interaksi yang mulus antar berbagai platform (interoperabilitas).

Sebuah visi tentang jembatan-jembatan yang menghubungkan pulau-pulau teknologi pembayaran, sehingga lalu lintas transaksi dapat berjalan lancar tanpa hambatan birokrasi digital.

Langkah selanjutnya adalah merangkul kekuatan kolektif. Bank Indonesia menggandeng Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), sebuah perkumpulan yang mewadahi para pelaku di industri ini. Bersama-sama, mereka merancang sebuah cetak biru, sebuah standar nasional untuk bahasa visual pembayaran yang kita kenal sebagai QR Code. Sebuah kesepakatan untuk mengakhiri Babel-nya kode pembayaran.

QRIS

Standar yang kemudian lahir dan diberi nama QRIS, bukanlah sebuah inovasi yang sepenuhnya berdiri sendiri. Ia dibangun di atas fondasi yang telah diakui secara internasional, yaitu standar EMV Co.

Langkah ini bukan hanya untuk memastikan keseragaman di tingkat domestik, tetapi juga membuka jendela harapan untuk interaksi yang lebih luas di masa depan, melampaui batas-batas negara. Sebuah visi tentang transaksi lintas batas yang semudah memindai kode.

Dengan demikian, QRIS hadir bukan sekadar sebagai solusi teknis atas keruwetan QR Code, tetapi juga sebagai simbol dari sebuah kesadaran kolektif untuk membangun sebuah sistem pembayaran digital yang lebih, efisien, dan terhubung.

Namun, mplementasi QRIS secara nasional mulai berlaku pada 1 Januari 2020 sebagai bagian dari Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Standarisasi ini diklaim akan mempermudah proses transaksi, serta mempercepat inklusi keuangan bagi pelaku usaha kecil dan UMKM Indonesia.

Sistem Pembayaran Digital dan Kontroversi Global

Waktu terus bergulir, dan QRIS, si anak bangsa yang dulunya hanya berkutat di pasar domestik, kini mulai melebarkan sayapnya. Jejak QRIS mulai terlihat di sejumlah negara tetangga, bahkan sampai ke raksasa ekonomi Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.

Sebuah kebanggaan? Tentu. Tapi, ekspansi ini rupanya tak luput dari sorotan tajam pihak luar. Amerika Serikat, melalui laporan NTE Report 2025, tiba-tiba menyoroti kebijakan QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Ada nada sumbang yang dilontarkan.

Mereka merasa, aturan yang mewajibkan setiap transaksi domestik diproses melalui lembaga switching lokal, telah membatasi ruang gerak perusahaan penyedia jasa pembayaran dari mancanegara. Sebuah tudingan adanya praktik proteksionisme di era digital.

Tentu saja, Bank Indonesia tak tinggal diam. Dengan nada tegas, otoritas moneter ini membantah tudingan tersebut. Kebijakan QRIS, kata BI, justru bertujuan mulia: memperkuat fondasi ekosistem pembayaran digital di negeri sendiri dan meningkatkan efisiensi transaksi. Kerja sama dengan perusahaan asing? Tetap terbuka lebar, asalkan tidak menggerogoti kedaulatan sistem pembayaran nasional.

Pernyataan BI ini bak gayung bersambut. Berbagai pelaku industri keuangan di Tanah Air ikut angkat bicara. Mereka melihat sistem pembayaran digital ini bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai lokomotif yang justru mempercepat digitalisasi ekonomi Indonesia. Sebuah inovasi yang patut didukung, bukan dicurigai.

Jadi, di satu sisi, kita patut berbangga melihat QRIS mulai diakui di kancah internasional. Namun, di sisi lain, kita juga harus siap menghadapi riak-riak dari pihak yang merasa kepentingannya terganggu. Ini bukan sekadar soal teknologi pembayaran, tapi juga soal kedaulatan ekonomi di era digital.

Pertanyaannya, mampukah kita mempertahankan inovasi ini tanpa menutup diri dari kolaborasi global yang sehat? Jawabannya, ada pada ketegasan sikap dan strategi kita ke depan.

Ketika Sistem Pembayaran Digital Dituding Sebagai Hambatan Perdagangan

Kendati riuh rendah suara sumbang terdengar dari seberang lautan, QRIS, bagaimanapun juga, kini telah menjelma menjadi patokan yang semakin kokoh dalam dunia pembayaran digital di Tanah Air.

Bagi pemerintah kita, hadirnya QRIS tentu bak setapak maju yang lebar menuju cita-cita kemandirian ekonomi yang bertumpu pada kekuatan digital. Sebuah ikhtiar untuk berdiri di atas kaki sendiri di era transaksi serba elektronik ini.

Namun, di mata Paman Sam, kebijakan ini agaknya terlihat sebagai batu sandungan bagi ambisi bisnis mereka untuk merajai pasar digital Indonesia.

Ada kekhawatiran bahwa aturan main yang kita tetapkan ini akan menghalangi gerak langkah perusahaan-perusahaan teknologi raksasa mereka untuk berekspansi di negeri kita. Sebuah persaingan kepentingan yang tak terhindarkan dalam panggung ekonomi global.

Lantas, timbul pertanyaan mendasar: benarkah QRIS ini sebuah penghalang bagi perdagangan bebas, atau justru tonggak penting dalam revolusi pembayaran digital yang berdaulat? Jawabannya, agaknya akan berlainan, tergantung dari kacamata mana kita memandang.

Dari sudut pandang kepentingan nasional, QRIS adalah upaya untuk melindungi dan memberdayakan ekosistem pembayaran dalam negeri. Namun, dari perspektif korporasi global, ia mungkin terlihat sebagai tembok pembatas yang menghalangi penetrasi pasar.

Yang pasti, perdebatan yang muncul ini telah membuka ruang diskusi yang lebih luas dan mendalam tentang bagaimana seharusnya kita merancang kebijakan sistem pembayaran di era digital ini.

Bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan nasional untuk berdaulat secara ekonomi dengan kebutuhan untuk tetap berdaya saing dan terbuka terhadap perkembangan global? Sebuah pertanyaan besar yang menuntut kearifan dan kebijaksanaan dalam mencari jawabannya. (Zonalima.com)

.st1{display:none}Baca juga artikel lainnya :