Mengunjungi Kabupaten Kebumen kurang lengkap tanpa menikmati tempat wisata bersejarah untuk liburan di akhir pekan.
Salah satu tempat wisata bersejarah di wilayah ini adalah sebuah benteng megah yang merupakan peninggalan dari zaman kolonial Belanda.
Berdasarkan peta Google Maps, benteng ini terletak sekitar 2,2 kilometer dari Stasiun Gombong. Waktu tempuhnya hanya sekitar 6 menit dengan berkendara.
Namanya Benteng Van der Wijck, warisan sejarah Belanda yang kini menjadi destinasi wisata bersejarah di Gombong. Benteng ini menawarkan pengalaman unik untuk mengenal masa lalu dan kekayaan sejarah Indonesia.
Benteng Van der Wijck terletak kira-kira 19 kilometer dari tengah-tengah Kota Kebumen. Persisnya di Jalan Sapta Margo Nomor 100, Desa Sidayu, Kota Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Benteng Van der Wijck berbentuk oktagonal dan memiliki area seluas 7.168 meter persegi.
Ukuran area bagian bawah dan atas benteng tersebut diperkirakan mencapai 3.606,625 meter persegi yang memiliki tinggi total 9,67 meter, serta menara tertancap dengan ketinggian 3,33 meter.
Fort yang berwarna merah tersebut terdiri dari 16 gudang tentara dengan dimensi setiap bangunan kira-kira panjang 7,5 meter dan lebar 11,32 meter.
Menurut informasi dari situs Kemdikbud, Benteng Van Der Wijck didirikan pada tahun 1833 atau sekitar beberapa tahun pasca berakhirnya Perang Diponegoro (1825-1830).
Nama benteng ini diambil dari nama Ketua Van Der Wijck saat sedang berada dalam masa puncak popularitasnya karena berhasil menumpas pemberontakan rakyat Aceh.
Sebelumnya, benteng ini dikenal sebagai Fort Cochius atau Benteng Cochius yang dinamai berdasarkan nama seorang jendral Belanda yakni Frans David Cochius (1787-1876).
Cochius pernah ditempatkan di area Bagelen, yang merupakan sebagian dari residen Kedu, dan ia mengawasi pasukan Belanda saat terjadi Perang Diponegoro.
Benteng ini sering kali dikaitkan dengan tempat peristirahatan Kyai Giyombong dan Kyai Gajahguling. Kedua tokoh tersebut berasal dari Gombong dan dikenal sebagai pendukung Pangeran Diponegoro di wilayah Bagelen (Kedu Selatan).
Pada masa lalu, Benteng Van der Wijck berfungsi sebagai kantor untuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perusahaan perdagangan Belanda ini memanfaatkan benteng tersebut dalam menjalankan operasinya.
Pada masa lalu, struktur benteng ini digunakan untuk mengawasi dan mempertahankan wilayah. Benteng tersebut juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan sumber daya militer bagi pasukan Belanda.
Pada 1856, fungsi benteng berubah menjadi Pupillen School. Lembaga ini didirikan sebagai tempat pendidikan bagi calon anggota militer keturunan Eropa yang berasal dari Hindia Belanda.
Perubahan fungsi benteng ini memberikan dampak besar terhadap lingkungan sekitarnya. Area di sekitar benteng berkembang menjadi kawasan pemukiman bagi anggota tentara Belanda yang tinggal di wilayah Gombong.
Area pemukiman di sekitar Benteng Van der Wijck dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung. Hunian disediakan untuk perwira serta guru-guru dari Sekolah Pupillen.
Pemukiman ini juga memiliki pemakaman, sel tahanan, serta ruang memasak untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, fasilitas penjagaan, bangunan asrama, dan zona tembak turut melengkapi area ini.
Berbagai sarana lainnya seperti warung kecil, kolam renang, taman hijau, dan puskesmas juga tersedia.
Workshop tentara Corps of Engineers, lahan terbuka, akomodasi tamu, kantor pos, dan arena atletik semakin memperkaya lingkungan pemukiman tersebut.
Pada masa penjajahan Jepang, area Benteng Van Der Wijck digunakan sebagai tempat latihan bagi anggota PETA (Pembela Tanah Air).
Latihan tersebut bertujuan mempersiapkan mereka untuk menghadapi kekuatan Sekutu.
Pasukan Jepang melapisi teks-teks berbahasa Belanda di dinding Benteng Van Der Wijck dengan cat hitam. Tindakan ini dilakukan sebagai bagian dari perubahan dan adaptasi selama pendudukan Jepang.
Setelah Agresi Militer pada Juli 1947, terjadi perubahan fungsi benteng dengan adanya perjanjian yang menghasilkan garis pemisah bernama Van Mook.
Selanjutnya area benteng kembali digunakan sebagai pos pertahanan utama oleh pihak Belanda. Alhasil, Benteng ini menjadi pusat strategis dalam pembatasan otoritas antara Belanda dan Indonesia.

Benteng Van Der Wijck juga dipakai untuk menahan pasukan pemberontak Indonesia yang berada di posisi sebelah timur Sungai Kemit.
Setelah kedaulatan Belanda berakhir, kompleks benteng tersebut selanjutnya pernah digunakan oleh TNI Angkatan Darat sampai tahun 2000.
Kompleks Benteng Van Der Wijck saat ini berfungsi sebagai area wisata yang dilengkapi dengan segala fasilitas, seperti arena bermain untuk anak-anak, ruang rapat, dan penginapan turis sambil menjaga ciri khas arsitektur semula dari struktur tersebut.
Menariknya, Benteng Van der Wijck menampilkan beberapa ciri khas. Diantaranya adalah bahannya yang sepenuhnya dibuat dari batu bata.
Atap benteng berbentuk segi delapan tersebut pun tersusun dari batu bata yang kuat dan dirancang mirip dengan bukit-bukit kecil.
Sedangkan desain untuk pintu serta jendelanya kebanyakan memiliki bentuk setengoh lingkaran. Gedung ini terbilang sangat kukuh dengan kedalaman tembok yang mencapai 1,4 meter.
Lapangan yang luas di pusat benteng pernah dipakai menjadi tempat syuting film The Raid 2: Berandal.
Sementara itu, di area atap benteng saat ini telah disediakan kereta wisata yang bisa membawa para pengunjung untuk menikmati panorama sekitar benteng dari ketinggian.
Para pengunjung dapat merasakan khasanah Benteng Van der Wijck selama jam operasional tempat ini buka dari pukul 00:00 hingga 16:00 WIB.
Untuk harga tiket masuk untuk Benteng Van der Wijck pun sangat bersahabat di kantong, yakni sebesar Rp 25.000 per orang. (Zonalima.com)